PRI Bumi Tantang Klaim Pertamina atas Tanah Bersertifikat Warga

Wilayah Zona Merah Pertamina Jambi
Wilayah Zona Merah Pertamina Jambi.doc/VOJ

“Negara tidak boleh menyandera hak rakyat hanya karena ketidaktertiban administrasi masa lalu. SHM diterbitkan oleh negara, bukan oleh warga. Kalau sekarang dianggap bermasalah, pertanyaannya bukan pada warga, tetapi pada sistem yang gagal melakukan sinkronisasi data aset migas dan tanah permukiman,” tegas Direktur Yayasan Perjuangan Rakyat Indonesia Untuk Bumi (PRI Bumi).

Ia menambahkan bahwa PRI Bumi akan mengawal kasus ini karena menyangkut keadilan publik dan hak dasar masyarakat terhadap tanah tempat mereka hidup. Baginya, tidak ada dasar hukum kuat yang membenarkan pemblokiran massal SHM tanpa proses hukum yang jelas.

Bacaan Lainnya

Pria keturunan darah biru itu juga menilai klaim zona merah tidak dapat menghapus hak kepemilikan yang telah diberikan negara. Ia menyebut status zona merah hanyalah standar operasional keselamatan migas, bukan instrumen yang dapat membatalkan hak pertanahan.

“Pertamina hanya operator. Mereka tidak bisa tiba-tiba menyatakan tanah warga sebagai wilayah terbatas tanpa menunjukkan dokumen HPL, Hak Pakai, atau bukti pembebasan lahan. Jika tanah itu benar aset negara, mestinya ada jejak administrasi. Jika tidak ada, maka klaim zona merah harus diuji,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa negara harus hadir menyelesaikan persoalan secara terbuka, bukan membiarkan warga menebak-nebak kebenaran dari data yang disembunyikan.

Sementara itu, warga terus merasakan dampak langsung dari kebijakan blokir. Banyak rencana jual beli rumah dibatalkan karena bank menolak sertifikat yang diblokir. Proses waris terhenti, pembangunan rumah terhambat, dan sejumlah usaha kecil yang membutuhkan pembiayaan bank tidak bisa mengakses kredit karena sertifikat tidak dapat digunakan. Warga merasa hidup mereka “dijeda” oleh kebijakan yang tidak mereka pahami dan tidak pernah disosialisasikan sebelumnya.

Aksi warga untuk menuntut transparansi kini menjadi pilihan terakhir bagi ribuan keluarga yang merasa hak mereka diinjak oleh sistem. Mereka menuntut Pertamina membuka dokumen historis, pemerintah menjelaskan dasar hukum penetapan zona merah, dan BPN mencabut blokir hingga ada kejelasan yang berdasar. Tim advokasi hukum yang dikomandoi Suhatman Pisang juga telah menyiapkan langkah litigasi untuk menguji keabsahan kebijakan tersebut di meja hukum.

Konflik ini pada akhirnya mengerucut pada satu pertanyaan besar, apakah negara akan berpihak kepada warganya yang memegang SHM sah, atau pada perusahaan yang mengelola hasil bumi atas nama negara? Selama tidak ada kejelasan dokumen dan dasar hukum yang transparan, persoalan ini akan terus menggunung. Dan bagi warga, tanah bukan hanya aset, melainkan bagian dari hidup yang tidak boleh dirampas oleh kebijakan yang tidak memiliki pijakan yang kuat.

Pos terkait