VOJNEWS.ID, BUNGO – Sungai Tukum di Kabupaten Bungo, Jambi, sejak lama menjadi bagian penting masyarakat sekitar. Namun sejak tahun 2021, aliran sungai tersebut berubah drastis. Panjangnya yang semula sekitar 750 meter kini menyusut menjadi 325 meter. Bekas aliran air diduga dimanfaatkan secara ilegal sebagai lahan operasional PT Djambi Waras.
Dokumen resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang ddimiliki vojnews.id menyebutkan, permohonan izin pengalihan sungai oleh PT Djambi Waras ditolak melalui surat tertanggal 29 Juli 2021. Alasan penolakan jelas, pengalihan telah dilakukan sebelum izin terbit. Kondisi ini menimbulkan dugaan bahwa perusahaan lebih dulu melakukan tindakan di lapangan baru kemudian mengurus legalitas, pola yang kerap menjadi sorotan dalam kasus tata kelola lingkungan.
Dari info sebelumnya vojnews.id menilisik bahwa Komisi III DPRD Provinsi Jambi pernah menyoroti sebelumnya tahun 2023 persoalan ini. Anggota dewan menyatakan bahwa dugaan pengalihan sungai tanpa izin telah memenuhi unsur pidana lingkungan. Mereka mendesak aparat penegak hukum untuk turun tangan, sebab tindakan semacam ini tidak hanya melanggar aturan administrasi, tetapi juga berpotensi merugikan masyarakat dan ekosistem.
Bahkan kondisi diakui pernah oleh Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) IV Jambi pada 29 November 2023 yang turut memberikan penjelasan terkait alasan penolakan izin. Menurut BWSS, ada dua faktor mendasar. Pertama, izin diajukan setelah pengalihan dilakukan. Kedua, dimensi aliran sungai yang baru tidak sesuai dengan ukuran semula, karena panjang sungai berkurang dari 750 meter menjadi 325 meter. Selain itu, bekas aliran sungai lama kini dimanfaatkan untuk kegiatan perkebunan, sehingga menimbulkan dugaan adanya keuntungan yang diperoleh perusahaan dari tindakan yang belum sah secara hukum.
Kasus yang terang benderang ini juga diakui oleh Pihak PT Djambi Waras yang tidak menampik adanya pengalihan sungai. Perusahaan berdalih bahwa perbuatan tersebut dilakukan oleh manajemen sebelumnya, sebelum pimpinan yang kini menjabat masuk ke perusahaan. Meski begitu, perusahaan mengaku telah beberapa kali mengajukan permohonan izin, termasuk yang terakhir pada September 2023, dengan mengacu pada Perpu Nomor 2 Tahun 2022 dan Permen PUPR Nomor 3 Tahun 2023. Hingga kini, permohonan itu belum mendapat persetujuan.
Sementara, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jambi pada Desember 2023 mengirimkan rekomendasi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk menghitung kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. KLHK merespons dengan menyatakan siap menjatuhkan sanksi setelah menerima hasil perhitungan resmi. Namun, hingga pertengahan 2025, sanksi konkret belum juga diumumkan, sehingga publik mempertanyakan lambannya langkah pemerintah pusat.
Sejumlah regulasi nasional dirangkum oleh redaksi Voice Of Jambi sebenarnya telah memberikan payung hukum yang tegas terkait pengalihan aliran sungai dan dampaknya terhadap lingkungan. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menyebut bahwa setiap pengalihan sungai tanpa izin dapat dipidana penjara hingga enam tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja, mengatur bahwa perbuatan yang menimbulkan kerusakan lingkungan dapat berujung pidana penjara hingga sepuluh tahun dengan denda Rp10 miliar, bahkan pelanggaran izin sekalipun tetap diancam pidana satu hingga tiga tahun penjara dengan denda Rp1 hingga Rp3 miliar. Dari sisi tata ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang diperbarui melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 juga menegaskan bahwa perubahan pemanfaatan ruang tanpa izin dapat dikenai sanksi administratif berupa pembekuan hingga pencabutan izin usaha, dan jika terbukti menimbulkan kerugian publik atau kerusakan lingkungan, pelaku dapat dijerat sanksi pidana.
Di sisi lain, PT Djambi Waras sempat mencatat prestasi pada 2024 dengan mengirim produk karet yang memenuhi standar European Union Deforestation Regulation (EUDR) ke pasar Eropa. Langkah ini dipandang sebagai capaian perusahaan dalam menembus pasar global dengan standar keberlanjutan. Namun pencapaian itu kontras dengan persoalan domestik yang masih membayangi, terkait dugaan pelanggaran lingkungan di Sungai Tukum.
Hingga Agustus 2025, kasus dugaan pengalihan Sungai Tukum oleh PT Djambi Waras masih berproses. Publik menunggu langkah tegas pemerintah, baik berupa sanksi administratif, pemulihan lingkungan, maupun tindak pidana jika terbukti ada pelanggaran hukum. Persoalan ini menjadi ujian nyata komitmen negara dalam menegakkan aturan lingkungan hidup. Tanpa penindakan, kasus ini berisiko memperkuat anggapan bahwa pelaku usaha besar bisa bebas melanggar aturan, sementara masyarakat dan lingkungan menjadi pihak yang dirugikan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi belum mendapat konfirmasi terkait tindaklanjut kasus pengalihan alur sungai oleh PT Djambi Waras ini.