Penutupan Sungai oleh Jambi Business Center, Proyek Komersial Ancaman Ekologis dan Pelanggaran Hukum

VOJNEWS.ID — Pembangunan kawasan Jambi Business Center (JBC) di Kelurahan Simpang IV Sipin, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, tengah disorot tajam. Proyek yang diklaim menjadi pusat ekonomi baru ini justru diduga menutup alur sungai lama, memicu banjir, dan melanggar sejumlah regulasi tata ruang dan lingkungan hidup Jambi.

Dalam pengembangan proyek komersial ini, ditemukan bahwa pembangunan JBC berada di atas jalur aliran sungai, yang sejak lama berfungsi sebagai saluran pembuangan dan irigasi bagi warga sekitar. Penutupan alur ini diduga kuat menjadi penyebab banjir berulang yang merendam rumah dan tempat ibadah di RT 10.

Bacaan Lainnya

“Dulu sungai itu besar dan airnya deras kalau hujan. Sekarang sudah ditimbun bangunan. Akibatnya air meluap ke rumah kami,” ujar Eva, warga Simpang IV Sipin. Sejak 2023, banjir disebut makin parah setelah proyek JBC berjalan.

Aktivis dari MAKATARA (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) pada pemberitaan sebelumnya juga menunjukkan citra satelit tahun 2020 dan 2023. Terlihat jelas perubahan besar pada bentang alam lokasi proyek JBC—dari semula jalur air menjadi area komersial penuh beton.

“Ini jelas-jelas penutupan alur sungai. Berdampak pada daya resap air dan meningkatkan risiko banjir,” tegas Willy Azzan, dari MAKATARA.

Dilansir vojnews.id dari Pakar hukum lingkungan Universitas Jambi, Dr. Faisal, M.Si pernah menyatakan, bahwa tindakan tersebut bisa dikategorikan pelanggaran pidana. Hal itu merujuk pada, UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air Mengalihkan atau menutup sungai tanpa izin, Penjara 5 tahun dan denda Rp10 miliar. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Mengubah ekosistem tanpa AMDAL, Penjara 3–10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.

Lanjutnya, Permen PUPR No. 4 Tahun 2024 Menetapkan bahwa setiap pengalihan alur sungai wajib izin dan kajian teknis yang ketat. Jika terbukti tidak memiliki dokumen AMDAL atau izin pengalihan sungai, sehingga pihak pengembang JBC bisa dikenai sanksi berlapis.

Terpisah Gubernur Jambi, Al Haris, menyatakan bahwa lahan JBC merupakan eks Kantor Dinas Peternakan dan bukan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia mengklaim revisi AMDAL tengah berlangsung, dan sistem drainase serta kolam retensi akan dibangun.

Namun berbeda, DPRD Provinsi Jambi menyebut masalah banjir harus menjadi prioritas. Ketua DPRD, M Hafiz Fattah, menyatakan siap memanggil pihak pengembang untuk dimintai pertanggungjawaban.

Mahasiswa dari berbagai kampus di Jambi juga menggelar unjuk rasa menuntut transparansi dan audit terhadap pembangunan JBC pada Rabu (23/04/2025). Mereka menilai proyek ini sarat konflik kepentingan dan mengabaikan keselamatan warga.

“Kami tidak ingin tinggal di bawah bayang-bayang banjir demi bisnis segelintir elite,” ujar salah satu orator aksi.

Jambi Business Center kini bukan hanya proyek ekonomi, tetapi juga menjadi contoh kasus konflik antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Jika pelanggaran hukum benar terjadi, maka aparat penegak hukum wajib turun tangan.

Pengawasan pengembangan proyek komersial ini harus menjadi isu perlu yang perlu kawal, demi tegaknya keadilan ekologis di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. (*)

Pos terkait