VOJNEWS.ID, KOTA JAMBI — Dugaan praktik korupsi di lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Jambi kembali menyeruak ke permukaan setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Jambi merilis Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas realisasi anggaran Tahun 2024.
Pemerintah Kota Jambi dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Tahun 2024 mencatat anggaran Belanja Barang dan Jasa sebesar Rp600.993.424.389,00, dengan realisasi Rp538.553.000.219,91 atau sekitar 89,61%. Dari angka itu, belanja bahan bakar dan pelumas (BBM) mencapai Rp21.053.448.047,00.
Temuan BPK membeberkan adanya kelebihan pembayaran untuk pos BBM DLH yang mencapai Rp401.951.550. Jumlah ini melebihi batas Standar Harga Satuan (SHS) Pemerintah Kota Jambi sebagaimana diatur dalam Keputusan Wali Kota Jambi Nomor 276 Tahun 2023. Ironisnya, penganggaran BBM DLH dilakukan berdasarkan keputusan internal Kepala Dinas, bukan berpedoman pada regulasi resmi Pemkot.
Lebih lanjut, kuota BBM yang semestinya diatur secara proporsional justru diberikan dalam bentuk kupon harian dengan jumlah tetap tanpa mempertimbangkan kondisi kendaraan atau volume kerja aktual di lapangan. BPK mencatat bahwa kendaraan roda empat seharusnya dibatasi BBM maksimal Rp22 juta per tahun, namun di lapangan justru direalisasikan hingga Rp70,6 juta per kendaraan.
BPK turut mencatat bahwa kupon BBM di DLH diberikan setiap hari dengan jumlah tetap, yakni 10–12 liter untuk kendaraan roda empat dan 2–3 liter untuk roda dua, tanpa mempertimbangkan kondisi bahan bakar kendaraan saat itu atau beban kerja aktual di lapangan.
Kondisi ini dinilai sebagai penyimpangan dari prinsip efisiensi dan pengendalian anggaran yang semestinya dijalankan secara ketat. Bahkan, untuk pengangkutan sampah, ditemukan bahwa jumlah ritasi aktual kendaraan tidak sesuai dengan perhitungan kupon BBM yang diberikan.
Armada pengangkut seperti dump truck dan arm roll tercatat beroperasi dengan kapasitas di bawah optimal, namun tetap menerima kupon BBM maksimal berdasarkan hitungan ritasi penuh setiap hari. Dari perhitungan tersebut, BPK menyimpulkan bahwa pemborosan BBM dalam pengangkutan sampah sebesar Rp655.248.000.
Permasalahan ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan internal di DLH. Kepala Dinas, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, hingga Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) tidak menjalankan pengendalian penggunaan BBM sesuai ketentuan. BPK menilai kebijakan pembagian kupon harian yang seragam tanpa dasar kebutuhan nyata telah menabrak prinsip efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah.
“Dari total kelebihan pembayaran Rp401 juta lebih, DLH baru mengembalikan sekitar Rp282 juta ke kas daerah, sementara sisanya Rp119 juta masih belum ditindaklanjuti,” tulis BPK dalam dokumen resminya.
Dari sisi hukum, praktik penyimpangan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 3 yang mengatur penyalahgunaan kewenangan pejabat negara hingga menimbulkan kerugian negara. Meskipun sebagian dana telah dikembalikan ke kas daerah, sesuai Pasal 4 UU Tipikor, pengembalian kerugian tidak menghapuskan pidana bagi pelaku korupsi jika terbukti ada unsur kesengajaan.
Kejadian di DLH Kota Jambi menjadi peringatan keras bahwa tata kelola keuangan publik harus transparan, akuntabel, serta diawasi dengan ketat. Terlebih, di tengah keterbatasan anggaran pembangunan, pemborosan dana ratusan juta rupiah untuk belanja BBM jelas tidak bisa ditoleransi. BPK telah merekomendasikan agar DLH memperbaiki prosedur pencatatan, meningkatkan sistem pengendalian internal, dan mematuhi regulasi belanja yang berlaku di seluruh perangkat daerah.