Dibayang-Bayangi Korupsi: Jambi Butuh KPK Sebagai Penegak, Bukan Pendamping

Gubernur dan sejumlah pejabat daerah, serta pimpinan DPRD Provinsi Jambi
Gubernur dan sejumlah pejabat daerah, serta pimpinan DPRD Provinsi Jambi

VOJNEWS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyoroti lemahnya kinerja Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di Provinsi Jambi. Meski upaya penguatan telah dilakukan lewat Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah I, hasil terbaru menunjukkan pengawasan internal di lingkungan Pemprov Jambi masih jauh dari harapan.

Data dari Monitoring Center for Prevention (MCP) KPK mencatat skor Pemprov Jambi hanya 72,37 terendah di antara pemerintah kabupaten/kota di provinsi tersebut dan tertinggal dari rata-rata nasional sebesar 82,06. Tak hanya itu, nilai Survei Penilaian Integritas (SPI) juga anjlok dari 71,45 pada 2023 menjadi 65,36 pada 2024. Penurunan ini menempatkan Jambi dalam kategori wilayah rawan korupsi.

Bacaan Lainnya

Plh Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK, Edi Suryanto, memperingatkan bahwa tindakan korupsi di daerah tak lagi bisa ditoleransi.

“Kalau masih berpikir serakah, tinggal tunggu waktunya,” tegasnya dalam Rapat Koordinasi Pencegahan Korupsi di Jakarta, 14 Mei 2025.

Lemahnya pengawasan terlihat jelas pada indikator strategis seperti optimalisasi pajak (skor 47), pengadaan barang dan jasa (52), serta pengawasan internal oleh APIP yang hanya mencapai 75. Hal ini menandakan masih banyak celah korupsi yang belum ditutup secara sistematis.

Gubernur Jambi, Al Haris, bahkan secara terbuka mengakui kelemahan APIP.

“Kadang ada, tapi seperti tak ada,” katanya, menyoroti banyaknya kasus yang seharusnya bisa dicegah namun justru berakhir di tangan penegak hukum.

Ironisnya, KPK kini memilih pendekatan kolaboratif dengan pemerintah daerah.

“Kami siap menjadi teman pemda untuk memperbaiki sistem,” ujar Edi.

Pendekatan ini memunculkan pertanyaan soal ketegasan KPK dalam menindak pelaku penyimpangan.

Kasatgas Wilayah I.2, Uding Juharudin, menyebut korupsi daerah juga menjadi catatan buruk bagi KPK. Namun, pendekatan yang lebih bersifat pendampingan administratif dinilai tidak cukup untuk menghadapi kerusakan sistemik yang telah mengakar.

Kondisi ini diperparah dengan belum tuntasnya pembelajaran dari kasus suap RAPBD 2017–2018 yang melibatkan mantan Gubernur Zumi Zola dan 52 anggota DPRD.

Meski sebagian besar telah divonis, budaya politik transaksional tetap hidup, seperti diakui Ketua DPRD Jambi, M. Hafiz Fattah, yang menyebut tarik-menarik kepentingan dalam pokok-pokok pikiran sebagai hal wajar.

Pos terkait