Oleh karena Pemohon III dan Pemohon IV merupakan perorangan warga negara Indonesia dan bukan merupakan pemerintahan daerah yakni kepala daerah (gubernur atau bupati/walikota) bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Berdasarkan hukum Mahkamah di atas, Pemohon III dan Pemohon IV sebagai subjek hukum tidak memiliki kedudukan hukum untuk melakukan pengujian norma yang berkaitan dengan urusan pemerintahan daerah.
Dengan demikian, Ridwan melanjutkan, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV yang merupakan perorangan warga negara Indonesia dan bukan merupakan pemerintahan daerah tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah, in casu Pemerintahan Daerah Kabupaten Batanghari. Terlebih, para Pemohon tidak dapat menyertakan bukti adanya Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Batanghari yang dilakukan sebelum diajukannya permohonan ke Mahkamah perihal persetujuan pengajuan permohonan pengujian UU 37/2024 ke Mahkamah, sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka pokok permohonan para Pemohon tidak dipertimbangkan lebih lanjut. Menimbang bahwa terhadap hal-hal lain tidak dipertimbangkan lebih lanjut karena dinilai tidak ada relevansinya.
Sebelumnya, para Pemohon mempermasalahkan penulisan nama “Kabupaten Batang Hari” yang berubah menjadi “Kabupaten Batanghari” dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari di Provinsi Jambi (UU Kabupaten Batanghari). Bupati Batang Hari Fadhil Arief dan Ketua DPRD Kabupaten Batang Hari Rahmad Hasrofi tercatat menjadi Pemohon Perkara Nomor 166/PUU-XXII/2024 tersebut. Sidang perdana perkara ini digelar pada Rabu (4/12/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Vernandus Hamonangan mengatakan, Pemohon mendalilkan frasa “Kabupaten Batanghari” (ditulis menyambung) dalam undang-undang tersebut, yang menurut para Pemohon seharusnya ditulis “Kabupaten Batang Hari” (ditulis terpisah). Para Pemohon berpendapat bahwa penggunaan frasa yang tidak sesuai tersebut menimbulkan berbagai permasalahan administratif dan budaya. Selain itu, penulisan yang berubah tersebut dapat mengganggu administratif dalam penyelenggaraan Kabupaten Batang Hari—dalam hal pengelolaan dokumen, verifikasi data, pencatatan data dan dokumentasi resmi, seperti surat-surat resmi, statistik dan arsip sejarah.
Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan penulisan “Kabupaten Batanghari” dalam UU No. 37 Tahun 2024 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga mengusulkan agar Pasal 2 diubah untuk mencantumkan tanggal pembentukan yang sesuai dengan fakta sejarah.(*/HMSMK)