Lebih lanjut, ia menyebut bahwa berdasarkan pantauan citra satelit sejak 2015, lokasi tersebut sebelumnya merupakan area perkantoran milik pemerintah yang tidak mengganggu aliran sungai. Perubahan fungsi lahan tanpa mitigasi risiko banjir dinilai sebagai kebijakan yang keliru.
“Kalau sungai ditutup dan tidak ada saluran pengganti, lalu ke mana air akan mengalir? Ini persoalan serius yang berdampak langsung pada masyarakat,” kata Willy.
Willy juga mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota Jambi telah melayangkan surat teguran kepada pihak JBC hingga tiga kali, namun belum direspons secara tuntas.
Senada, seorang warga setempat bernama Widrin mengatakan bahwa sebelum adanya proyek JBC, aliran sungai di kawasan tersebut masih bisa digunakan warga untuk mandi. Kini, kondisi air berubah warna dan kolam retensi yang dibangun tidak efektif menahan luapan air.
“Kolam retensinya kecil, tidak ada pintu penyekat, malah seperti kolam ikan. Setiap hujan lebat, daerah sini pasti kebanjiran,” ujarnya.
MAKATARA mendesak pemerintah provinsi dan kota untuk bertindak tegas. Mereka meminta agar pembangunan JBC dievaluasi secara menyeluruh, termasuk kemungkinan pencabutan izin jika terbukti melanggar tata ruang dan merugikan warga.