“Kami siap menjadi salah satu teman pemda untuk memperbaiki sistem bersama,” ujar Edi Suryanto.
Pendekatan ini menimbulkan pertanyaan mengenai ketegasan lembaga antikorupsi dalam menghadapi praktik yang merugikan keuangan negara.
Kasatgas Korsup Wilayah I.2 KPK, Uding Juharudin, menambahkan, “Kalau ada korupsi di daerah, itu rapor merah bagi kami juga.” ujarnya.
Namun, pernyataan tersebut juga memperlihatkan bahwa pendekatan KPK masih lebih bersifat pendampingan administratif ketimbang penindakan tegas terhadap aktor-aktor pelaku penyimpangan.
Mengulas kembali, Kasus suap pengesahan RAPBD Jambi tahun 2017–2018 yang melibatkan mantan Gubernur Zumi Zola dan 52 anggota DPRD Jambi, nyatanya belum menjadi pembelajaran berarti. Dari 52 anggota dewan yang terseret, 24 telah divonis bersalah. Namun demikian, budaya transaksional dalam penyusunan anggaran masih terus berlangsung secara laten.
Ketua DPRD Jambi, M. Hafiz Fattah, dalam pernyataannya justru mengakui tarik-menarik politik dalam pengusulan pokok-pokok pikiran (pokir).
“Kami tak bisa menyalahkan siapa pun, karena semua ingin mengakomodasi konstituen,” ujarnya, tanpa menyentuh batas etis penggunaan dana aspirasi.
Penurunan drastis skor MCP dan SPI, ditambah dengan pengakuan terbuka dari kepala daerah serta legislatif tentang lemahnya pengawasan internal, seharusnya menjadi alarm bagi KPK untuk mengubah pendekatannya. Alih-alih menjadi ‘teman’, KPK perlu menegaskan kembali fungsinya sebagai lembaga penegak hukum yang dapat bertindak cepat dan tegas.
Pendampingan tanpa sanksi hanya akan menjadikan KPK sebagai penonton dari kerusakan sistemik yang terus dibiarkan. Korupsi di Jambi bukan sekadar akibat individu serakah, melainkan kegagalan sistematis yang telah berlangsung lama dan diwariskan tanpa pembenahan serius. (KMS).






