BPK Sorot Mantan Walikota Syarif Fasha Tak Teken Adendum Pembangunan JCC Sebabkan Perjanjian Cacat Hukum Hingga Aset Tergadai

Mantan Walikota Syarif Fasha Tak Pernah Teken Adendum kerjasama dengan PT BPI (vojnews.id)
Mantan Walikota Syarif Fasha Tak Pernah Teken Adendum kerjasama dengan PT BPI (vojnews.id)

VOJNEWS.ID  —  Mantan Walikota Jambi Dr. Syarif Fasha, S.E, M.E dilaporkan tidak melakukan penandatanganan pada addendum perjanjian kerjasama pembangunan pusat ekonomi Jambi City Center (JCC) di tahun 2014. Hal itu telah melanggar ketentuan Permendagri No. 19 Tahun 2016 yang seharusnya di teken walikota Jambi.

Temuan Bandan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2019 dan tahun 2023 lalu menjadi pusat perhatian penegak hukum yang menyebabkan sejumlah pejabat teras Kota Jambi telah di panggil oleh kejaksaan negeri Kota Jambi.

Bacaan Lainnya

Dokumen laporan BPK menyoroti Addendum I perjanjian kerjasama pembangunan JCC yang tidak ditandatangani Wali Kota Jambi, melainkan oleh diteken oleh Kepala BPMPT Tahun 2014 inisial F dan perubahan pertama pada tahun 2016 diteken oleh Plt. Kepala Badan Penanaman Modal dan Terpadu Kota Jambi. Padahal, Permendagri No. 19/2016 Pasal 230 ayat (2) mewajibkan perjanjian Bangun Guna Serah (BGS) ditandatangani langsung oleh kepala daerah.

Jika diterjemahkan, Audit BPK tentang Addendum I Perjanjian kerjasama berisiko batal demi hukum, sehingga klausul keterlambatan dan sanksi bagi PT BPI tidak berlaku. Pemkot kehilangan hak untuk menuntut ganti rugi jika proyek gagal.

Bahkan Perubahan pertama ditahun 2016 diakui Mantan Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu saat itu inisial M, mengaku addendum  I Perjanjian kerjasama ditandatangani berdasarkan SK Plt. Namun, ia tak membantah bahwa hal itu bertentangan dengan Permendagri,” tertulis dalam laporan BPK.

Tercatat dalam temuan BPK laporan hasil pemeriksaan (LHP) atau audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Kota Jambi tahun anggaran 2019, bahkan terulang di tahun 2023. Mengakibatkan, Proyek kolaborasi antara Pemkot Jambi dan PT BPI tahun 2014 itu menimbulkan kerugian atas pendapatan asli daerah (PAD) tahun 2019 hingga 2024, yang harusnya uang kontribusi tahun keenam hingga tahun kesebelas senilai 15 Milyar Rupiah.

Dipaparkan, dalam dokumen perjanjian kerjasama terdapat juga perbedaan dalam pemberian uang kontribusi selama kerjasama 30 tahun. Untuk Lima tahun pertama Pemkot Jambi mendapat Uang Kontribusi senilai 1.5 Milyar pertahun,  disepakati diambil di awal 5 tahun sejak tahun 2014 dengan total Rp. 7.5 Milyar.  Namun, perbedaan mencolok pada tahun keeanam  hingga tahun ke lima belas mendapat Rp. 2.5 Milyar petahun, Untuk 15 Tahun terakhir meningkat menjadi Rp. 3.5 Milyar pertahun yang akan di bayarkan melalui RKUD.

Dengan Gagalnya JCC ini, menyebabkan kerugian atas pendapatan asli daerah Kota Jamb sejak tahun 2019  sebanyak Rp. 15 Milyar, Jika ditarik 20 tahun kedepan kerugian atas kerajasama dengan PT BPI mencapai Rp. 75.5 Milyar.

Proyek yang dibangun di atas lahan eks Terminal Simpang Kawat seluas 1,3 hektare melalui skema Bangun Guna Serah (BGS) menjadi laporan temuan serius pekerjaan mangkrak, tidak sesuai jadwal dan perjanjian yang cacat hukum oleh BPK.

Kerja sama antara Pemkot Jambi dan PT BPI telah diteken sejak 2015, di mana pihak investor berjanji mengucurkan dana investasi hingga Rp100 miliar untuk membangun pusat perbelanjaan dan hotel yang diklaim dapat mendorong ekonomi daerah dan menyerap tenaga kerja lokal.

Namun, hasil investigasi media ini dan temuan BPK menunjukkan bahwa hingga tahun 2019, proyek belum juga rampung. Bahkan menurut dokumen, progres fisik bangunan baru mencapai sekitar 67.78 % dan belum dapat difungsikan sebagaimana mestinya.

BPK mengungkap bahwa addendum kerja sama yang semestinya ditandatangani langsung oleh Wali Kota Jambi Syarif Fasha melanggar ketentuan Permendagri No. 19 Tahun 2016, yang mewajibkan kepala daerah menjadi pihak penandatangan resmi kerja sama pemanfaatan Barang Milik Daerah (BMD). Akibatnya, secara hukum, addendum tersebut dianggap tidak sah. “Hal ini menjadi bukti lemahnya pengendalian internal Pemkot dalam proses pemanfaatan aset daerah,” tulis BPK dalam laporannya.

Dari dokumen BPK memperlihatkan bahwa bangunan hotel masih berupa struktur kasar dengan konstruksi hingga lantai 6, namun belum rampung. Hanya sebagian lantai dijadikan rooftop dan tempat bazar sementara. Fasilitas utama seperti bioskop dan pusat kuliner belum dibangun. Bahkan, hingga 2 Mei 2019, bangunan belum layak digunakan dan grand opening belum pernah dilakukan.

Tenant di pusat perbelanjaan pun tidak banyak yang beroperasi. Dalam kunjungan lapangannya,  BPK mencatat bahwa hanya bagian-bagian tertentu yang digunakan untuk bazar UMKM, bukan operasional pusat perbelanjaan komersial seperti dalam masterplan awal.

Pos terkait