Batubara vs Budaya: Candi Muaro Jambi dalam Pusaran Kepentingan Ekonomi dan Pelestarian Warisan 

Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP, Akademisi UIN STS Jambi
Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP, Akademisi UIN STS Jambi

VOJNEWS.IDCandi Muaro Jambi merupakan salah satu situs cagar budaya paling penting di Indonesia. Terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi, kawasan ini merupakan peninggalan peradaban Melayu-Buddha yang berkembang dari abad ke-7 hingga abad ke-13.

Dengan luas sekitar 3.981 hektar, Candi Muaro Jambi menjadi kompleks percandian terluas di Asia Tenggara. Nilai sejarah, arkeologis, dan kultural yang terkandung di dalamnya menjadikan situs ini sebagai salah satu kekayaan intelektual masa lalu yang membanggakan. Sejak tahun 2009, Candi Muaro Jambi telah dinominasikan untuk masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO karena integritas dan nilai universalnya yang luar biasa.

Bacaan Lainnya

Namun, kebesaran masa lalu itu kini dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan. Aktivitas industri batubara, khususnya praktik penumpukan (stockpile) yang dilakukan secara sembarangan, menjadi ancaman serius bagi kelestarian situs ini.

Selama lebih dari satu dekade, aktivitas stockpile batubara menjamur di zona inti Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional (KCBN), terutama di Desa Muara Jambi, Tebat Patah, dan Kemingking Dalam. Tumpukan batubara dan lalu lintas kendaraan berat tidak hanya merusak struktur fisik candi yang terbuat dari bata kuno, tetapi juga mencederai keaslian dan kesakralan lanskap budaya yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas situs.

Persoalan ini menggambarkan konflik klasik antara kepentingan ekonomi dan pelestarian budaya. Industri batubara memang berkontribusi terhadap pendapatan daerah dan menciptakan lapangan kerja, sehingga kerap dianggap sebagai sektor strategis (Wulandari, 2021). Namun, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan.

Debu dan polusi udara mempercepat proses pelapukan struktur candi. Kebisingan dan getaran dari kendaraan berat memperburuk kondisi lingkungan. Gangguan visual akibat tumpukan batubara merusak lanskap budaya yang utuh, sebuah elemen penting dalam penilaian UNESCO terhadap kelayakan sebuah situs untuk dijadikan warisan dunia (UNESCO, 2023).

Ironisnya, berbagai regulasi telah disusun untuk melindungi kawasan ini. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya secara tegas mengamanatkan perlindungan kawasan cagar budaya dan zona penyangganya dari segala bentuk aktivitas merusak.

Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional Candi Muaro Jambi menetapkan zonasi konservasi sebagai bagian dari strategi pelestarian. Bahkan, Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 135/M/2023 mengatur secara eksplisit pembatasan terhadap aktivitas industri pertambangan dan kelapa sawit di kawasan tersebut.

Namun, pada tataran implementasi, kebijakan perlindungan terhadap Candi Muarojambi mengalami defisit eksekusi.

Lemahnya penegakan hukum, fragmentasi koordinasi antarinstansi, serta rendahnya kapasitas dan pelibatan masyarakat dalam sistem pengawasan menciptakan celah yang dimanfaatkan oleh kepentingan ekonomi jangka pendek, khususnya industri pertambangan.

Pos terkait