KOTAJAMBI, VOJNEWS.ID — Polemik pembekuan Sertifikat Hak Milik (SHM) ribuan warga di tujuh kelurahan Kota Jambi akibat penetapan zona merah Pertamina EP Rokan Jambi terus memantik keresahan besar.
Ribuan warga kini berada dalam posisi terancam, bukan hanya karena hak tanah mereka diblokir, melainkan karena dasar hukum kebijakan tersebut dinilai tidak transparan, tumpang tindih, dan berpotensi melanggar hak konstitusional masyarakat. Konflik ini semakin membesar setelah berbagai pihak mulai mempertanyakan keabsahan penetapan zona merah terhadap wilayah yang secara legal telah lama menjadi permukiman dan pemukiman permanen warga.
Sejak puluhan tahun silam, warga di kawasan Sukakarya, Kenali Asam, Mayang, dan beberapa kelurahan lain, hidup dan mengelola lahan mereka berdasarkan surat adat, akta jual beli, hingga akhirnya diformalkan menjadi SHM oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). SHM itu bukan lahir dalam ruang kosong, melainkan melalui proses resmi negara, diverifikasi, dicocokkan, dan disetujui oleh instansi pertanahan. Sertifikat tersebut kemudian digunakan untuk berbagai kebutuhan: jaminan bank, pembangunan rumah, warisan resmi, dan transaksi jual beli.
Namun kini, tanpa peringatan memadai, warga tiba-tiba diberitahu bahwa kawasan tempat mereka tinggal telah masuk “zona merah” Pertamina. Penetapan itu menjadi dasar bagi BPN untuk memblokir ribuan SHM, membuat semua aktivitas pertanahan lumpuh total. Tidak ada balik nama, tidak ada pemecahan sertifikat, tidak ada jual beli, dan bahkan warisan pun terhenti di tengah jalan. Kegelisahan semakin memuncak ketika warga merasa tidak pernah menerima pemberitahuan bahwa lahan mereka berada di kawasan terbatas atau kawasan migas berisiko tinggi.
Sebagian tokoh masyarakat menuturkan munculnya dugaan lama bahwa pada masa lalu terjadi kekacauan pencatatan aset antara instansi migas dan pertanahan. Ada kecurigaan bahwa sebagian lahan warga pernah dianggap sebagai wilayah operasi migas tanpa dokumentasi pembebasan yang jelas.
Bahkan muncul cerita dari warga senior bahwa dahulu ada pihak tertentu yang menawarkan lahan-lahan tersebut tanpa penjelasan bahwa kawasan itu bersinggungan dengan aset negara. Seiring waktu, lahan itu dijual, diwariskan, atau dibangun, hingga pada akhirnya disertifikatkan oleh negara tanpa ada tanda batas operasi migas.
Di tengah konflik yang semakin memanas, ribuan warga kini mempersiapkan aksi besar-besaran mendatangi Pertamina EP Hulu dan DPRD Provinsi Jambi. Mereka menuntut dibukanya blokir SHM, klarifikasi dokumen historis, serta jawaban atas pertanyaan yang menggantung: jika tanah itu memang kawasan migas, mengapa negara sendiri menerbitkan SHM selama puluhan tahun? Forum Warga Tolak Zona Merah memperkirakan lebih dari 6.000 warga terlibat dalam gerakan ini, menjadikannya salah satu aksi pertanahan terbesar di Kota Jambi dalam dua dekade terakhir.
Di tengah memuncaknya protes, suara lembaga masyarakat sipil kini ikut memperkuat tekanan terhadap pemerintah dan Pertamina. Direktur PRI Bumi Provinsi Jambi, Kms Khairudin, menilai kasus zona merah ini tidak dapat disederhanakan menjadi persoalan teknis migas semata.
Menurutnya, ini adalah indikasi serius adanya cacat administrasi negara yang merugikan ribuan warga. Ia menyebut penetapan zona merah tanpa sinkronisasi data pertanahan sebagai tindakan yang tidak dapat dibenarkan.






